Senin, 16 Juni 2025

Dilema Seorang Guru: Antara Objektivitas Penilaian dan Harapan Masa Depan Siswa



Setiap akhir semester, guru di seluruh Indonesia menghadapi momen krusial: penilaian rapor. Bagi sebagian besar guru, ini bukan sekadar proses administratif, melainkan sebuah tanggung jawab moral dan profesional. Di balik angka-angka yang tertulis di lembar rapor, terdapat harapan, kerja keras, dan kadang juga dilema etika yang tak mudah diselesaikan. Salah satu dilema yang sering muncul adalah ketika nilai siswa cenderung rata-rata, namun terdapat tekanan atau harapan agar nilai tersebut ditingkatkan demi kepentingan seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, seperti Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Realita Penilaian dan Harapan Sosial

Dalam sistem pendidikan kita, nilai rapor masih menjadi salah satu tolok ukur penting dalam proses seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Meskipun kini ada berbagai jalur seleksi, seperti jalur tes tertulis atau portofolio, namun jalur rapor (seperti SNBP) tetap memiliki bobot signifikan. Oleh karena itu, baik orang tua maupun siswa sangat memperhatikan nilai rapor sebagai modal utama untuk meraih masa depan yang lebih baik.

Di sisi lain, guru sebagai pihak yang bertugas menilai, seringkali dihadapkan pada tekanan emosional dan sosial. Bagaimana jika seorang siswa memiliki kemampuan yang sedang, namun sangat berambisi untuk masuk ke universitas impian? Bagaimana jika keluarga siswa menaruh harapan besar pada anak tersebut, dan nilai rapor menjadi penentu utama? Dalam situasi seperti ini, guru tidak hanya berperan sebagai penilai objektif, tetapi juga sebagai bagian dari sistem sosial yang turut membentuk masa depan siswa.

Objektivitas vs Empati

Tantangan utama dalam penilaian adalah menjaga objektivitas. Guru didorong untuk menilai berdasarkan indikator capaian kompetensi, kehadiran, partisipasi, dan hasil ujian. Namun ketika nilai seorang siswa tidak mencerminkan harapan untuk seleksi SPMB, muncul godaan untuk "menaikkan sedikit" angka agar siswa tersebut memiliki peluang lebih besar. Ini adalah ranah abu-abu yang tidak selalu mudah diputuskan.

Empati terhadap kondisi siswa bisa menjadi alasan kuat untuk sedikit melonggarkan standar. Mungkin siswa tersebut sangat rajin, memiliki motivasi tinggi, atau berasal dari keluarga kurang mampu yang menggantungkan harapan besar padanya. Dalam kasus-kasus seperti itu, guru merasa terbelah antara menjaga integritas profesional dan membantu membuka jalan masa depan bagi siswanya.

Tekanan Institusional dan Harapan Orang Tua

Tidak jarang pula guru mendapat tekanan dari pihak sekolah atau orang tua untuk memberikan nilai yang lebih tinggi. Sekolah ingin mempertahankan reputasi dengan tingkat kelulusan SNBP yang tinggi, sementara orang tua menginginkan hasil terbaik bagi anaknya, terlepas dari kondisi akademik sebenarnya. Dalam beberapa kasus, ada permintaan tersirat agar guru “berbaik hati” dalam memberikan nilai.

Tekanan semacam ini bisa melemahkan independensi guru sebagai penilai. Apalagi jika tidak ada sistem pengawasan yang ketat atau jika penilaian dilakukan secara subjektif. Akhirnya, guru bisa terjebak dalam kompromi yang merugikan kejujuran akademik, meskipun niatnya adalah membantu siswa.

Jalan Tengah: Penilaian Holistik dan Transparansi

Dalam menghadapi dilema tersebut, pendekatan yang dapat diambil adalah penilaian holistik. Artinya, nilai tidak hanya diambil dari hasil ujian tertulis, tetapi juga dari aspek sikap, partisipasi, keaktifan dalam diskusi, dan perkembangan siswa secara menyeluruh. Dengan pendekatan ini, guru tetap dapat memberikan ruang bagi siswa yang kurang unggul secara akademik tetapi menunjukkan etos belajar dan karakter yang baik.

Selain itu, transparansi dalam penilaian sangat penting. Rubrik penilaian yang jelas, keterlibatan siswa dalam proses evaluasi, dan komunikasi terbuka dengan orang tua dapat membantu mengurangi tekanan dan membangun kepercayaan. Guru juga dapat berdiskusi dengan siswa secara langsung tentang perkembangan mereka dan memberikan motivasi untuk terus berusaha tanpa terlalu menggantungkan masa depan hanya pada nilai rapor.

Refleksi Moral Seorang Pendidik

Menjadi guru bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi juga membimbing, membentuk karakter, dan menjadi teladan moral. Dilema dalam penilaian menunjukkan bahwa profesi guru sarat dengan tanggung jawab etis yang seringkali tidak terlihat. Memberi nilai bukan sekadar menulis angka, tetapi juga menimbang konsekuensi dan masa depan seorang anak.

Akhirnya, tidak ada keputusan yang benar-benar mudah. Namun dengan komitmen pada kejujuran, empati, dan komunikasi yang terbuka, guru dapat tetap menjaga integritasnya sekaligus membantu siswa mencapai potensi terbaik mereka.

Minggu, 16 Maret 2025

Keyakinan dalam Berdoa

 



Bismillaahirrahmaanirrahiim.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT, yang mana atas karunia dan rahmat-Nya lah penulis bisa menyelesaikan artikel ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpah kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW. Tidak lupa kepada para sahabatnya, keluarganya, tabiin dan atbaut tabiin, serta sampailah kepada kita semua yang senantiasa terus berjuang dalam mengikuti jejak langkah mereka. Penulis menulis artikel ini tujuannya adalah untuk fastabiqul khairat (berlomba-lombalah dalam kebaikan), yang dalam kesempatan ini penulis menulis artikel yang bertema kan tentang keyakinan dalam berdoa.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ

Artinya:

Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.

Ayat tersebut di atas menjelaskan bahwa Allah itu dekat dengan hambanya. Dikarenakan dekat maka dalam berdoa tidak perlu keras-keras atau pun teriak karena Allah sudah menegaskan bahwa Dia dekat dengan hambanya. Allah maha mendengar, bahkan Allah juga mengetahui isi hati manusia. Sesuai dengan firmannya dalam surat Ali Imran ayat 119

إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ

Artinya:

Sesungguhnya Allah maha mengetahui segala isi hati.

Dengan firman Allah tersebut di atas, maka kaitannya dalam berdoa adalah sekecil apapun doa yang kita panjatkan kepada Allah, maka Allah akan mengetahuinya.

Kemudian yang kedua, dikarenakan Allah dekat dengan hambanya, maka dalam berdoa juga tidak boleh menggunakan perantara. Kalau Allah sudah dekat dengan hambanya, maka kita langsung saja berdoa atau memohon kepadanya. Kenapa harus menggunakan perantara, toh Allah sendiri sudah menegaskan bahwa Dia itu dekat dengan hambanya. Hal ini diperjelas dengan firmannya dalam surat Al-Mumin ayat 60

 ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ

Artinya:

Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan bagimu.

Ayat di atas menjelaskan bahwa, Allah sendirilah yang menyuruh kepada hambanya untuk berdoa secara langsung kepada-Nya tanpa perantara. Kalau kita berdoa menggunakan perantara, apa bedanya dengan orang-orang yang menyembah berhala.

Ketika Nabi musa pergi ke gunung Sinai (Thursina), untuk menerima wahyu dari Allah. Nabi Musa menyuruh kepada kaumnya (Bani Israil) untuk menunggunya, dan dia berjanji akan kembali kepada kaumnya kalau sudah menerima wahyu. Setelah sekian lama Nabi Musa tidak kembali, Bani Israil mulai resah, kemudian muncullah seorang dari golongan mereka yang berusaha untuk memimpin Bani Israil namanya Samiri. Samiri merupakan seorang tukang sihir dan pandai dalam membuat patung. Kemudian Samiri pun membuat patung anak sapi, yang kemudian hari patung anak sapi tersebut disembah oleh bani israil. Kaum bani israil mereka tahu bahwa tuhan itu Allah, tetapi dikarenakan rusaknya akidah mereka sehingga mereka menyembah dan berdoa kepada berhala. Padahal berhala tersebut tidak bisa apa-apa.

Melihat kisah dari kaum Nabi Musa di atas, maka bisa dikaji antara orang yang berdoa dengan menggunakan perantara tidak jauh beda dengan orang yang menyembah berhala. Sedangkan menyembah berhala itu merupakan syirik, dan syirik termasuk kepada dosa yang sangat besar dan tidak akan diampuni oleh Allah SWT.

Kemudian lanjutan dari surat Al-Baqarah ayat 186

أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ

Artinya:

Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.

Apa maksud dari ayat ini?

Alah hanya akan mengabulkan doa apabila hamba tersebut berdoa kepada-Ku atau dengan kata lain Allah telah menutup semua pintu untuk terkabulnya doa kecuali hamba tersebut memohon kepada Allah saja.

Kemudian lanjutannya lagi surat Al Baqarah ayat 186

فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Artinya:

Maka hendaklah mereka itu memenuhi (semua perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, supaya mereka berada dalam kebenaran.

Ayat tersebut di atas menjawab semua pertanyaan atau kegelisahan orang-orang yang doanya belum dikabulkan. Seberapa banyak doa yang telah engkau panjatkan?, dan seberapa sering doa yang engkau ulang tetapi doa tersebut tak kunjung-kunjung. Ayat di atas menjelaskan jika kita menginginkan doa kita terkabul, maka kita harus memenuhi segala perintah Allah. Jika kita memenuhi segala perintah-Nya maka kita akan dekat dengan Allah. Apabila kita dekat dengan Allah maka doa apapun yang kita panjatkan selama itu baik dan kita percaya kepada Allah maka doa tersebut pasti akan dikabulkan. Dan apabila kita menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya maka kita termasuk ke dalam orang yang rasyid atau orang yang akan selalu diberi petunjuk sehingga kita akan terus berada di jalan Allah.


Wallahu a'lam bish-shawab.

Assalamualaikum Wr. Wb.