Minggu, 03 April 2016

Penegakkan hukum qishash pada Kisah Umar bin Khatab, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Pembunuh

Bismillahirrahmaanirrahiim

Pada zaman Khalifah Umar bin Khatab, datanglah seorang pemuda kepada Umar yang mengaku telah membunuh seseorang. Pemuda itu datang ke Umar untuk menegakkan hukum qishash atas perbuatan yang telah dilakukannya. Umar merasa kasihan ke pemuda yang mengaku tersebut, karena dari raut mukanya terlihat bahwa pemuda tersebut benar-benar menyesali atas perbuatannya. Umar sungguh menyesalkan atas perbuatan pemuda itu karena sangat disayangkan pemuda yang berani dan jujur harus mati pada saat ini.
Ketika hukuman qishash mau dilaksanakan, Umar bertanya kepada pemuda terhukum tersebut "apa permintaan terakhirmu sebelum kamu mati?". Pemuda terhukum tersebut menjawab "berilah aku waktu untuk menyelesaikan masalahku, karena aku memiliki amanah yang belum selesai dan urusan yang lainnya". Umar pun bertanya kepada pemuda terhukum tadi "adakah keluarga atau kerabatmu yang bersedia untuk menjadi badal?". Pemuda terhukum tadi menjawab "tidak ada, karena di kota ini aku tidak punya orang yang kukenal". Kemudian Umar bertanya kepada orang-orang yang hadir di tempat itu "adakah diantara kalian yang bersedia menjadi badal atau penjamin dari pemuda terhukum ini?". Semua orang yang hadir tidak ada yang bersedia karena tidak ada yang kenal dengan pemuda tersebut. Kemudian dari sekumpulan orang yang menghadiri penghukuman tersebut, terdengarlah seseorang yang dengan berani menyatakan bahwa orang tersebut siap untuk dijadikan badal. Orang yang bersedia menjadi badal tidak lain dan tidak bukan adalah seorang sahabat Rosulullah SAW namanya Abu Dzar Al-Ghifari. Kemudian para hakim sepakat untuk mengabulkan permintaan terakhir terhukum dengan memberikan penangguhan waktu selama 7 hari kepada pemuda terhukum tersebut untuk menyelesaikan segala amanah dan urusan pemuda terhukum tersebut.
Waktu 7 hari telah berlalu, dan pemuda terhukum pun belum juga datang. Suasana di tempat itupun menjadi tegang pasalnya kalau pemuda terhukum itu tidak datang maka yang jadi pengganti untuk dihukum mati adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Sampai akhirnya ketika hukuman qishash mau dilaksanakan, dari kejauhan terlihat seorang pemuda yang pontang panting berlari hendak menuju ke sini.  Kemudain dengan pakaian dan penampilan yang berantakan pemuda tersebut sampai di tempat eksekusi yang ternyata pemuda tersebut adalah pemuda terhukum yang hendak dihukum mati. Kemudian setiba di sana pemuda tersebut berkata "maafkanlah atas keterlambatan aku, karena amanah dan permasalahan yang sudah diselesaikan sangat berbelit-belit, dan aku berlari karena kotaku sangat jauh sehingga untaku tidak sanggup mengantarku ke tempat ini.
Kemudian hakim terkejut dengan kedatangan pemuda terhukum itu, dan bertanya "kenapa kamu tidak kabur saja melarikan diri dari jeratan hukum mati, terlebih sudah ada yang menggantikan kamu?". Pemuda tersebut menjawab "benar bisa saja saya kabur dan melarikan diri dari hukuman mati ini, tetapi kalau saya lari dari tanggung jawab ini, berarti saya telah mencoreng orang muslim, karena saya tidak mau nanti dalam sejarah orang muslim ada yang tidak bertanggung jawab dan tidak menepati janjinya dikarenakan urusan pribadi. Melihat kesungguh-sungguhan dan kejujuran pemuda terhukum tadi, para hakim dan orang-orang di tempat itu merasa iba kepada pemuda terhukum itu, pasalnya sangat disayangkan seorang pemuda yang jujur dan berani harus mati pada saat ini. Lalu keluarga korbanpun merasa iba terhadap pemuda terhukum itu, yang akhirnya anak-anak keluarga korban telah mengikhlaskan ayahnya yang mati karena dibunuh dan memaafkan pemuda yang hendak dihukum mati tersebut.
Para hakim pun bertanya kepada keluarga korban "kenapa kalian memaafkan pemuda terhukum itu? padahal dia sudah membunuh keluarga kalian." Keluarga korbanpun menjawab "benar memang dia telah membunuh keluarga kami, tetapi melihat keseriusan dan penyesalan yang tulus dari pemuda tersebut, kami akan memaafkannya karena kami memiliki harga diri dan kami tidak mau nanti di dalam sejarah umat islam ada orang yang tidak mau memaafkan antara sesama umat muslim. Kemudian hakim juga bertanya kepada Abu Dzar Al-Ghifari terkait sikapnya yang berani menjamin pemuda terhukum itu padahal dia tidak mengenalinya. Abu Dzar Al-Ghifari menjawab "benar mungkin saya terasa bodoh yang rela mengorbankan diri pada orang lain yang tidak dikenal, tetapai sebagai seorang muslim, saya malu jika nanti sejarah islam mencatat bahawa dahulu ada seorang muslim yang sedang kesulitan dan meminta bantuan, namun tak ada seorang pun yang bersedia untuk meringankan bebannya dan menolongnya.
Dari kisah tadi di atas, sungguh betapa mulia sekali orang muslim pada zaman sahabat. Pada zaman sekarang mana ada yang berbuat kejahatan mengaku dan minta untuk diadili. Banyak orang islam yang hanya peduli dengan urusan dunia tanpa memikirkan urusan akhirat, padahal mereka sudah tau bahwa segala sesuatu yang dikerjakan di dunia pasti akan diminta tanggung jawabnya. Kebanyakan orang sudah tidak takut terhadap Allah. SWT, ini menandakan di dalam orang-orang islam telah mengalami degradasi keimanan. Kebanyakan orang islam sudah teracuni oleh pikiran orang yang tidak beriman yang mendewakan duniawi atau materialis. Kalau orang yang tidak beriman wajar saja kalau mereka mendewakan harta benda karena mereka tidak beriman mengenai kehidupan di akhirat. Tetapi kalau kita sebagai orang islam, sudah sepatutnya percaya bahwa kehidupan yang kekal itu nanti ketika di akhirat dan kehidupan di dunia hanya sementara. Untuk itu marilah kita bangun dan sadar kalau kita masih mendewakan kehidupan di dunia tanpa menyampingkan kehidupan di akhirat.
Kemudian dari sikap keluarga korban yang memaafkan terhukum, sungguh sikap tersebut sangat berat sekali untuk dilakukan. Padahal dia sudah membunuh anggota keluarga yang sangat dicintainya. Jangankan membunuh, masalah kecil saja kita suka berat sekali untuk memaafkan seseorang. Padahal Allah SWT saja yang maha kuasa tetap maha pengampun, masa kita manusia yang memiliki kekuasaan terbatas tidak mau memaafkan orang yang sudah tulus untuk minta maaf. Kemudian apabila kita sedang musuhan dengan seseorang, orang yang paling mulia adalah orang yang terlebih dahulu minta maaf, meskipun dia tidak bersalah.
Lalu sikap yang ditunjukkan oleh Abu Dzar Al-Ghifari mengajarkan bahwa kita sesama orang islam adalah saudara. Sudah seharusnya kita saling menolong bahkan saling menanggung beban. kebanyakan orang muslim pada zaman sekarang jarang sekali yang mau menolong orang yang tidak di kenal, padahal Rosulullah SAW mengatakan bahwa sesama orang islam adalah saudara. Kebanyakan orang tidak peduli dengan urusan orang lain, mereka hanya peduli dengan urusannya sendiri. Orang-orang berlomba-lomba bekerja hanya untuk mencukupi kebutuhan diri sendiri atau keluarganya sendiri. Padahal Rosulullah SAW mengajarkan untuk bersedekah dan berzakat. Rasulullah mengajarkan untuk menyayangi anak yatim, piatu, dan orang miskin. Bahkan dalam islam menyuruh untuk menyantuni 8 golongan yang berhak menerima zakat. Tetapi karena kebanyakan orang khawatir dengan tidak tercukupinya kebutuhan pribadi, sehingga orang-orang menjadi sulit untuk menolong orang lain, Orang-orang islam sudah terpengaruhi oleh budaya barat yang hanya mementingkan urusan pribadi, golongan, dan keluarga sendiri.
Kalau dikaji dari kisah dan penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum islam dan karakter orang islam itu sungguh sangat sempurna. Qishash merupakan hukum yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk ditegakkan di muka bumi ini. Allah SWT menyuruh menegakkan hukum qishash pasti ada alasannya. Mungkin kalau kita mengamati secara sepintas, hukum qishash itu kejam, tidak berprikemanusiaan, atau yang trend pada zaman sekarang katanya melanggar HAM. Emang benar qishash kejam seperti kalau membunuh baik sengaja atau tidak harus dibunuh. Tetapi kalau kita amati secara seksama dari contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum qishash akan membawakan kedamaian, seperti contoh kasus yang tadi.
Kalau dibandingkan dengan negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi dalam melaksanakan hukum Indonesia berlandaskan pada Pancasila dan UUD 45. Jika hukum islam tidak ditegakkan sudah barang tentu negara tersebut tidak akan sejahtera. Dan Allah berjanji jika suatu negara tidak menerapkan hukum islam, maka tunggulah waktu kehancurannya.

wallahu a'lam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar